Opor Ayam Buatan Calon Mertua
“aku bertanya kepada Nelayan apa itu cinta, ia menjawab kau
tak akan bisa bercinta sampai kau mampu menahan rindu kala senja. Aku bertanya
kepada Tuhan apa itu cinta, kemudian Tuhan tersenyum dan menghadirkan dirimu”
*****
Sudah memasuki akhir bulan Ramadhan, tapi tak kunjung juga
kutemukan sosok gadis solehah yang meninggalkan sajadah detik-detik azan isya
sedang dikumandangkan. Berlari terbirit-birit dengan warna mukena yang berwarna
biru teduh, seteduh wajahnya- memakai sendal jepit berwarna biru yang serasi
dengan warna mukenanya. Dia, pemilik sajadah itu. aku masih menunggunya di
malam-malam orang bermesraan, memuja-memuji, dan berlomba-lomba merebut hati
Tuhan. Aku pun begitu, bermesraan kepada Tuhan untuk dipertemukan dengan
dirimu. Aku rasa Tuhan sudah mengatur takdir ini untukku dan untukmu.
“an, cepet banget sudah mau pulang saja” tanya Ajie, usai
buka bersama teman SMA. “ah, ane mau tarawih, Ji” jawab aan singkat sambil
senyum-senyum. “tarawih bareng disini kan bisa”. “gak afdhol, ane mau liat
jawaban Tuhan”. Ajie mencoba mencegah Farhan namun Farhan bersikeras untuk
kembali ke rumah untuk melaksanakan sholat tarawih di masjid biasanya. Ajie
heran dengan Farhan, tak biasanya ia cepat meninggalkan saat waktu bersama
teman-teman. Tapi ia meninggalkan Ajie dan kawan-kawan dengan senyumnya yang
cengengesan. Ah, mungkin saja Farhan atau Aan panggilan akrabnya sedang dapat
THR hari ini karena doanya diijabah oleh Tuhan.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, ketika Farhan menemukan sajadah
di jalan yang dimana wanita itu melewati Farhan yang sedang merapikan
sarungnya, Farhan selalu menunggunya tepat dimana wanita itu menjatuhkan
sajadahnya usai sholat tarawih selesai. Farhan hanya sekilas melihat wajah
gadis itu, karena baru pertama kali jadi Farhan tak dapat jelas mengingat
wajahnya. Ia hanya melihat sendal jepit dan mukena gadis itu, saat ia berlari
namoak dari jauh seperti bidadari sedang berjalan dan mengapakan sayapnya, yah
sayap mukenanya. Sudah memasuki hari terakhir bulan puasa. Di hari tarawih
terakhir Farhan masih tak menemukan gadis mukena berwarna biru. Ahh, apa Tuhan
sedang membuat takdir lain untukku, bahwa gadis yang berlari menuju masjid itu
adalah khayalanku saja? Namun mengapa sajadanya masih tetap saja utuh pada tanganku.
Karena puasa ini Sudha terakhir, nanti malam sudah bukan jadi penantianku lagi
untuk berharap bertemu dengannya. Sudah kuiklaskan mungkin kisah ini akan jadi
bahan cerita ketika ku bertemu dengan Ajie dan kawan-kawan dari pada mengibah
kawan yang lain.
Keeseokan harinya, hari raya idul fitri sudah tiba, sebagian
masyarakat muslim ada yang bahagia dan juga sedih, bahagia karena hari dimana
kita membuka lembaran baru untuk bersuci lagi dan saling memaafkan, dan sedih
karena harus kehilangan bulan yang suci, bulan dimana manusia muslim lebih puas
bermesra dengan Tuhannya, begitupun denganku, harus menghilangkan penantian
gadis bermukena biru ketika usai sholat tarawih. Seperti biasa tradisi keluarga
kami, usai sholat idul fitri aku dan keluargaku biasa melakukan salam-salaman
di sekitar rumah dan keliling antar RT maupun RW namun tidak sampai kelurahan.
Saat itu aku tidak tahu rumah siapa saja yang kudatangi untuk sekedar
bersalam-salaman. Namun tiba-tiba saja seorang gadis keluar dari kamarnya saat
aku sedang bersalaman dengan mamahnya, aduhai sangat indah dipandang, alisnya
yang rapih seperti benang tersulam, hidungnya yang mungil tak mancung dan tak
pesek, bibir merahnya yang kecil, dan matanya yang tajam bagai tatapan
elang-menatapku tajam namun teduh tersenyum untuk datang dan bersalaman. Cukup
lama aku memandangnya, keterpanaanku buyar saat mamah menegurku. “Farhan,
Farhan. Kamu ngapain sih, nak?” tegur mamah. “eh mah, iya mah”. “ maaf bu
Karimah, anak suka bengong kadang kalo lihat gadis yang cantik hehe”. Ucap mama
dengan salah satu ibu pemilik rumah ini. “eh bisa aja ibu, terimakasih bu”.
Jawab ibu pemilik anak bidadari tersebut. “he? Mamah kenal sama ibu ini? Kok
gak bilang kalo anaknya cantik” jawabku spontan meledek mamah dan ibu Karimah.
Tak lama aku meledek mamah, muncul sang adik masih memakai mukena, aku terpana
heran luar biasa. Aku berani bersumpah sepertinya mataku sudah mirip dengan
bola pimpong dan siap untuk ditangkap karena akan keluar. Gadis yang terlihat
lebih kecil dari wanita cantik itu menggunakan mukena biru langit persis sama
ketika gadis yang meninggalkan sajadahnya di jalan ketika melewatiku. Aku lebih
terpana dan menatap lebih lama kepada gadis itu. ini pasti dia, aku segera
keluar rumah itu dan balik ke rumahku untuk mengambil sajadah miliknya. aku
berlari seperti ayam yang dikejar pemiliknya untuk disantap. Aku terbirit-birit
sama sedikit seperti gadis mukena berwana biru itu. aku balik lagi ke rumah ibu
Karimah, dan kulihat mamah seperti malu karena mempunyai anak sepertiku. Ia
menariku dan izin untuk pamit pulang. Namun aku berusaha mencegah mamah, mamah
tak mendengar ucapanku. Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk menarik
mamah ke rumah ibu Karimah. Dengan membawa sajadah tersebut kukembalikan pada
mukena yang berwarna biru.
“ini punyamu bukan?” tanyaku kepada gadis yang masih memakai
mukena biru itu.
“itu kan punya kakak bukan?” tanya gadis kecil itu kepada
gadis yang kusebut bidadari
“eh iya, kok ada di kamu?” tanyanya lembut, selembut pipi
chubby-nya
“saya lihat bidadari cantik teburu-buru menuju masjid ketika
azan isya sudah dikumandangkan. Lalu bidadari itu menjatuhkan sajadah tepat dua
langkah jalan saya.” Tentu aja wajah bidadari itu memerah, aku yakin pasti itu
dia, tapi mengapa adiknya yang memakai mukena kakanya? Apa mereka membeli
mukena yang sama? Ah bukan masalah, yang penting aku sudah bisa mengembalikan
barang miliknya.
“terimakasih banyak, bang. Aku sudah lama mencari sajadah
ini, karena ini sajadah peninggalan almarhumah Nenek.” Jawabnya yang masih tersipu
malu
“hmmm, kakak mah biasa deh suka teledor sama barang” saut
sang ibu bidadari manusia
“gapapa bu, kalo yang jatohin bidadari solehah gini mah,
Farhan seneng” jawabku menggombal karena senang
“oh Farhan namanya, makasih banyak yaa Farhan, makasih juga
bu Zulfa. Lucu juga anaknya ehehehe.”
“iya bu sama-sama. Kalo gitu saya pamit yaa bu sama anak
saya Farhan” sahut mamah
“oh bu, jangan dulu dong. Makan ketupat sayur sama opor dulu
yuk, saya sudah masak banyak.”
“eh bu Karimah, gaus-“
“ayuk mah, rezeki gak boleh ditolak” aku menarik tangan
mamah yang akan memutar badannya arah pulang.
Hari itu Tuhan benar-benar membuat takdir tentang apa itu
cinta. Bidadari cantik itu bernama Robi’ah. Dengan anggun ia membawakan aku dan
mamah ketupat sayur dan opor ayam, tak tahu rasanya seperti apa, yang pasti ada
dan bersamanya sudah membuat hati ini lupa akan rasa masakannya, hanya rasa
hatinya yang dapat kurasakan. Yang teringat kali Ini bahwa hari ini aku makan ketupat buatan
calon mertua.
MasyaAllah.... melting sendiri bacanyaa >< pas lagi baca ngebayangin diri sendiri jadi rabi'ah, tapi kalau diinget mah malu taraweh aja ga tamat :(.
ReplyDeleteAhahaha semangat bikin cerita lagi yaa :D
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete